Oleh : JRX
Kuta - "What is important is to spread confusion, not eliminate it.” - Salvador Dali
Kutipan ini dipilih karena confusion adalah energi terbesar yang menyinari proses berkesenian SID beberapa tahun belakangan. Sejak album terakhir Angels and The Outsiders (2009), kami berevolusi dengan alot, bertempur dengan kedewasaan, mencoba meredefinisikan arti seni, popularitas dengan segala macam aspek.
Semakin kami tahu, semakin kami tidak tahu. Semakin belajar, semakin banyak pula yang harus dipelajari. Mungkin dunia yang semakin absurd ini memang butuh perlawanan yang juga absurd. Dikepung ritme hidup, kami tiba di sebuah persimpangan pilihan. Apakah kami akan menjadi band yang statis berada di arena perang yang itu-itu saja, atau kami akan menjawab tantangan hati untuk membawa karya kami ke wilayah yang lebih ‘besar’ dengan target serang yang lebih ‘besar’?
Apakah kami siap untuk sebuah perubahan yang akan melibatkan banyak benci dan cinta? Akankah penikmat musik kami akan merasakan apa yang coba kami sampaikan?
Jawabannya adalah album ini: Sunset Di Tanah Anarki.
Setelah berproses, ternyata kami tidak takut kehilangan, bahkan tidak takut akan apapun. Kami hanya takut akan musuh terbesar kami, yaitu diri kami sendiri. Kami akan merasa sangat bersalah jika harus berkesenian dan berekspresi tanpa mengikuti kata hati yang paling dalam.
Kami pun lancang memindahkan gigi untuk melanggar speed-limit kreativitas yang selama ini kami patuhi. Kami congkak menyilangkan aliran, mulai dari hardcore, drum n’ bass, metal, arena-rock, rockabilly hingga perkara orkestra. Ditambah permainan lirik di luar pakem dan pemahaman esensi yang berbeda dengan album-album kami sebelumnya.
Kerinduan akan perubahan yang lebih baik tetap menjadi kerangka dan anarki kami pilih sebagai benang merah. Anarki sebagai an advanced form of love. Anarki sebagai mimpi agung SID yang ’rumahnya’ (Bali) sedang diluluhlantakkan secara ekonomi dan budaya. Anarki sebagai kanal pembebasan untuk jiwa yang selama ini terlelap oleh kidung syahdu hedonisme. Kembali pada kutipan Dali, confusion adalah pelatuk dari semua ini.
Semakin kami dewasa, semakin kami bingung melihat dunia yang makin absurd, realita yang makin miskin hati, melihat alam dan peradaban diperkosa tanpa malu oleh mesin-mesin berbentuk manusia.
Dunia yang sedang tidak baik-baik saja ini seolah menjadi mesin pemintal lagu yang sangat produktif. Total ada 17 langgam perang yang membingkai kebingungan kami. Ada beberapa lagu yang sudah ditulis awal 2000-an, ada juga yang ditulis tak selang beberapa lama sebelum proses rekaman dimulai.
Dibuka dengan “Ketika Senja (The Opening)” - sebuah penegas identitas, dengan pride yang dilapisi baja kami meneriakkan, “Welcome boys and girls, to the monument of Fuck You All!”.
Lalu “Bulletproof Heart” yang seolah ditulis di penjara Mexico, tentang malaikat yang mati sebelum terlahir, di sebuah tempat gelap di mana para setan berdoa untuk akhir dunia.
“Suara Dalam Menara” yang melibatkan choir ibu-ibu gereja, sampai sekarang kami masih mencari makna tetap dari syairnya yang absurd.
“Bulan & Ksatria” adalah lagu cinta para pemberontak yang muak terhadap sistem kasta, standar moral dan pembenaran-pembenaran semu pendahulu kita.
Juga ada proyek kolaborasi lirik dengan lirikus gila Prima Geekssmile di “Belati Tuhan” yang abstrak berkisah tentang mimpi besar kaum vandalis yang harus menjadi vandalis karena itu satu-satunya jalan untuk temukan adil.
“Kita Luka Hari Ini Mereka Luka Selamanya” adalah pesan perdamaian yang berbunyi: “WE WILL SHUT THEIR MOUTH & KICK THEIR ASS FOR GOOD.”
“Burn The Night” adalah hormat drum n’ bass kami untuk setiap sudut gang di Kuta yang kerap menjadi saksi lahirnya ide-ide pembakar dunia. V dari V For Vendetta akan menyukai.
“Kita Adalah Belati” saat kami, untuk kesekian kalinya, menyatakan perang terhadap fasisme.
Tak ketinggalan, romansa kami kaitkan dengan perang dan kebingungan. Sudut yang dipakai saat menulis tembang ”Sunset di Tanah Anarki” adalah seorang anarkis yang diburu penguasa hingga ia harus meninggalkan sang kekasih.
Romansa penuh amarah di ”Forever Love Insane” adalah percobaan kami memadukan punk rock dan hardcore, rasa murka penuh kasih sayang pekat terasa.
Zat gula kami suntikkan, salah satunya di ”Water Not War” yang terinspirasi kasus-kasus krisis air.
Langkah terlancang kami mungkin ”Jadilah Legenda”, pernikahan antara balada kelas kakap dengan anggunnya orkestra dan choir gereja.
Demikian rangkuman singkat dari beberapa tembang yang menghiasi album Sunset Di Tanah Anarki. Proses rekaman kami lakukan di Electrohell Studio, Bali, dibantu oleh beberapa teman musisi dan seniman Bali dan luar Bali. Kami berharap kebingungan ini tersiar dengan lantang hingga perubahan lebih lekas terjadi.
Kebingungan menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan menimbulkan peluang untuk suatu perubahan. Suka atau tidak, inilah SID kini...
Kami ingin berbagi kebingungan ini kepada dunia, kali ini dengan bahasa yang lebih besar, dengan tanduk yang lebih tajam.
Sumber : RollingStoneINA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar